Thursday, March 17, 2011
Posts by : Admin
Belajar Dari Jepang
Pagi ini saya membaca sebuah catatan dari seorang teman Indonesia yang study di Jepang. Tulisannya sangat menginspirasi saya secara pribadi dan akhirnya mendorong saya untuk menulis juga penglaman saya.
Beberapa waktu yang lalu Jepang dihantam gempa dan gelombang tsunami yang meluluh lantahkan negeri itu. Negeri matahari terbit. Dulunya saya tidak begitu tertarik belajar tentang Jepang. Bagi saya Jepang tidak ada bedanya dengan negara-negara maju lainnya yang kental dengan kehidupan mewah dan serba canggih. Bagi saya orang Jepang tidak lebih dari orang-orang gila kerja yang memaksa diri dalam mencapai sesuatu dan ketika hal itu tak dapat dicapai, maka mereka mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tetapi begitu saya menginjakkan kaki di sana semua gambaran itu berubah menjadi inspirasi bagi saya. Sungguh!
Keteguhan hati dan kedisiplinan orang Jepang sudah sering saya dengar sejak saya masih duduk di bangku SD, tapi baru tahun lalu sampai sekarang saya mengerti.
Kita perlu belajar dari Jepang mengenai keteguhan/ketetapan hati dan kedisiplinan. Ada satu istilah Jepang yang begitu terkenal dan juga menjadi falsafah hidup orang Jepang, yakni "Gambaru/Gambate" yang artinya berjuang mati-matian. Pertama kali saya mendengar istilah itu, saya tidak mengerti apa artinya, lalu saya tahu dari teman saya kalau itu artinya selamat berjuang. Bagi saya yang waktu itu belum begitu mengenal Jepang, saya menganggap artinya tidak lebih dari sekedar mengucapkan "good luck", namun begitu saya mencoba masuk dalam lingkungan orang Jepang dan belajar hidup seperti orang Jepang baru saya mengerti apa arti sebenarnya dari "gambate dan gambaru".
"Gambaru" Berjuang mati-matian bagi orang Jepang bukan sekedar berjuang dan ketika tak dilihat adanya hasil lalu berhenti.
Saya melihat adanya suatu semangat yang berkobar tak peduli apapun keadaannya.
Satu contoh kecil, saya heran waktu berada di Jepang beberapa waktu yang lalu, ketika melihat para wanita karir yang walaupun dengan cuaca yang dingin tetap merasa nyaman dengan pakaian yang biasanya dipakai di cuaca normal bahkan terkadang mini. "Apakah mereka tidak merasa dingin?" Pikir saya. Baru kemudian saya tahu ternyata sejak di bangku SD, anak-anak sekolah di Jepang diajarkan prinsip "gambaru", dimana mereka diwajibkan datang ke sekolah tidak peduli betapa dinginnya cuaca. Dari kecil mereka tak dibiasakan hidup manja. Bahkan menurut saya, mungkin saja kata manja tak ada dalam kamus Jepang.
Tak heran Jepang bisa bangkit lagi setelah sempat dijadikan abu oleh bom atom Amerika. Ya, mereka bangkit lagi dari abu alias mulai dari NOL. Namun, dengan prinsip GAMBARU yg sudah melekat di kepala mereka, orang Jepang berhasil membawa negeri mereka menjadi negara tangguh bukan cuma dalam hal ekonomi, namun juga militer, pendidikan dan teknologi.
Saya ada di Jepang beberapa waktu yang lalu untuk mengikuti suatu program pertukaran pemuda. Kebetulan Jepang menjadi sponsor program ini yang katanya merupakan program pertukaran termahal di Asia dimana pemerintah Jepang mengeluarkan sekitar Rp.800 juta/orang. Kontingen Indonesia sendiri berjumlah 28 orang dan Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara peserta. Bisa anda bayangkan berapa juta dollar yang dihabiskan untuk program itu? Awalnya saya merasa bersalah mengikuti program itu karena banyak orang yang bisa dibantu dengan dana sebesar itu.
Saya sempat bertanya, kenapa dana sebesar itu tidak digunakan saja untuk kegiatan social? Bayangkan berapa sekolah yang sudah bisa dibangun dengan dana untuk satu kontingen. Berapa jembatan dan fasilitas umum lainnya yang bisa dibangun dengan jumlah dana itu apalagi kegiatan ini bersifat tahunan.
Namun anda tahu apa jawab mereka dari pemerintah Jepang? Simak jawaban mereka: "Kami sadar besarnya biaya yang kami keluarkan setiap tahunnya untuk program ini. Dan kami sadar sepenuhnya berapa banyak fasilitas yang bisa kami bangun dengan uang sebanyak itu, tapi kami tidak investasi untuk benda mati tapi untuk yang hidup. Kalau kami membangun jembatan, sekolah, dll, apa yang dapat dihasilkan dari semua itu? Bukankah semua itu akan hancur seiring dengan waktu? Bagaimana jika terjadi bencana? 800 juta x 28 = 0 (NOL). Katakanlah 800 juta mungkin dipakai untuk membangun satu gedung sekolah, tapi ketika gedung itu hancur apalah artinya? Sebaliknya ketika 800 juta itu diinvestasikan untuk SATU ORANG MANUSIA, satu orang itu bisa membangun seribu jembatan dan seribu sekolah. Kami percaya pada kemampuan manusia dalam menghasilkan sesuatu maka dari itu kami tidak merasa rugi dalam hal pembiayaan karena satu orang itu dapat menghasilkan lebih dari apa yang telah
kami investasikan". Karena itu, saya percaya, dengan seijin Tuhan Jepang pasti akan bangkit lagi.
Dengan prinsip gambaru, Jepang pasti akan membangun istana kemakmuran mereka kembali dari sisa puing-puing kehancuran ini, karena mereka telah belajar untuk tidak menyerah pada keadaan dan tidak manja.
Kalau anda punya sahabat atau kenalan di Jepang, coba tanya apakah ada berita di media lokal yang memajang wajah menyerah atau tangisan dari orang Jepang? Tidak ada! Atau coba anda cari lagu-lagu ala Ebiet G Ade yang biasa diputar di saat bencana, tidak akan anda temukan. ATAU coba anda cari program amal bencana seperti Peduli Sesama atau Dompet Peduli di Jepang, tidak akan anda temui!
Benar kita harus bercermin pada Jepang.
Dalam bencana yang hebat inipun, bantuan Jepang untuk pembangunan MRT di Jakarta tidak dihentikan, malah kemaren saya mendapat email dari KEMENPORA bahwa program pertukaran yang saya ikuti tahun lalu akan dibuka lagi pendaftarannya. Sungguh saya salut pada Jepang.
Satu hal lagi yang saya belajar selama di Jepang adalah kedisiplinan mereka. Sungguh saya malu dengan kebiasaan jam karet yang begitu melekat dengan bangsa kita. Saya teringat ketika mengikuti "morning assembly" dan upacara bendera di atas kapal pesiar Fuji Maru-Tokyo. Kami diwajibkan sudah hadir di tempat upacara pada pukul 7.30 karena upacara harus dimulai tepat waktu. Saya ingat yang sering terjadi bukanlah keterlambatan melainkan kami menunggu kapan upacara dimulai. Waktu itu kami sudah hadir setengah jam sebelum upacara dimulai namun upacara tidak dimajukan namun tetap komit pada waktu yang ditetapkan. Bisa anda bayangkan betapa pegalnya kaki kami waktu itu. Namun disiplin seperti itu telah membawa Jepang ke titik puncak kejayaan mereka.
Watashi wa, tōsō no genri nitsuite Nippon kara manabu koto ga dekimasu. Demo, watashi wa tatakai tsuzukeruga okoru! Anata wa Nippon ni kansha shimasu.
Biarlah Jepang menjadi inspirasi bagi kita semua.
Gambate Nihon!!! Ayo bejuang Jepang!!!
-Jack Loloin-
Beberapa waktu yang lalu Jepang dihantam gempa dan gelombang tsunami yang meluluh lantahkan negeri itu. Negeri matahari terbit. Dulunya saya tidak begitu tertarik belajar tentang Jepang. Bagi saya Jepang tidak ada bedanya dengan negara-negara maju lainnya yang kental dengan kehidupan mewah dan serba canggih. Bagi saya orang Jepang tidak lebih dari orang-orang gila kerja yang memaksa diri dalam mencapai sesuatu dan ketika hal itu tak dapat dicapai, maka mereka mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tetapi begitu saya menginjakkan kaki di sana semua gambaran itu berubah menjadi inspirasi bagi saya. Sungguh!
Keteguhan hati dan kedisiplinan orang Jepang sudah sering saya dengar sejak saya masih duduk di bangku SD, tapi baru tahun lalu sampai sekarang saya mengerti.
Kita perlu belajar dari Jepang mengenai keteguhan/ketetapan hati dan kedisiplinan. Ada satu istilah Jepang yang begitu terkenal dan juga menjadi falsafah hidup orang Jepang, yakni "Gambaru/Gambate" yang artinya berjuang mati-matian. Pertama kali saya mendengar istilah itu, saya tidak mengerti apa artinya, lalu saya tahu dari teman saya kalau itu artinya selamat berjuang. Bagi saya yang waktu itu belum begitu mengenal Jepang, saya menganggap artinya tidak lebih dari sekedar mengucapkan "good luck", namun begitu saya mencoba masuk dalam lingkungan orang Jepang dan belajar hidup seperti orang Jepang baru saya mengerti apa arti sebenarnya dari "gambate dan gambaru".
"Gambaru" Berjuang mati-matian bagi orang Jepang bukan sekedar berjuang dan ketika tak dilihat adanya hasil lalu berhenti.
Saya melihat adanya suatu semangat yang berkobar tak peduli apapun keadaannya.
Satu contoh kecil, saya heran waktu berada di Jepang beberapa waktu yang lalu, ketika melihat para wanita karir yang walaupun dengan cuaca yang dingin tetap merasa nyaman dengan pakaian yang biasanya dipakai di cuaca normal bahkan terkadang mini. "Apakah mereka tidak merasa dingin?" Pikir saya. Baru kemudian saya tahu ternyata sejak di bangku SD, anak-anak sekolah di Jepang diajarkan prinsip "gambaru", dimana mereka diwajibkan datang ke sekolah tidak peduli betapa dinginnya cuaca. Dari kecil mereka tak dibiasakan hidup manja. Bahkan menurut saya, mungkin saja kata manja tak ada dalam kamus Jepang.
Tak heran Jepang bisa bangkit lagi setelah sempat dijadikan abu oleh bom atom Amerika. Ya, mereka bangkit lagi dari abu alias mulai dari NOL. Namun, dengan prinsip GAMBARU yg sudah melekat di kepala mereka, orang Jepang berhasil membawa negeri mereka menjadi negara tangguh bukan cuma dalam hal ekonomi, namun juga militer, pendidikan dan teknologi.
Saya ada di Jepang beberapa waktu yang lalu untuk mengikuti suatu program pertukaran pemuda. Kebetulan Jepang menjadi sponsor program ini yang katanya merupakan program pertukaran termahal di Asia dimana pemerintah Jepang mengeluarkan sekitar Rp.800 juta/orang. Kontingen Indonesia sendiri berjumlah 28 orang dan Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara peserta. Bisa anda bayangkan berapa juta dollar yang dihabiskan untuk program itu? Awalnya saya merasa bersalah mengikuti program itu karena banyak orang yang bisa dibantu dengan dana sebesar itu.
Saya sempat bertanya, kenapa dana sebesar itu tidak digunakan saja untuk kegiatan social? Bayangkan berapa sekolah yang sudah bisa dibangun dengan dana untuk satu kontingen. Berapa jembatan dan fasilitas umum lainnya yang bisa dibangun dengan jumlah dana itu apalagi kegiatan ini bersifat tahunan.
Namun anda tahu apa jawab mereka dari pemerintah Jepang? Simak jawaban mereka: "Kami sadar besarnya biaya yang kami keluarkan setiap tahunnya untuk program ini. Dan kami sadar sepenuhnya berapa banyak fasilitas yang bisa kami bangun dengan uang sebanyak itu, tapi kami tidak investasi untuk benda mati tapi untuk yang hidup. Kalau kami membangun jembatan, sekolah, dll, apa yang dapat dihasilkan dari semua itu? Bukankah semua itu akan hancur seiring dengan waktu? Bagaimana jika terjadi bencana? 800 juta x 28 = 0 (NOL). Katakanlah 800 juta mungkin dipakai untuk membangun satu gedung sekolah, tapi ketika gedung itu hancur apalah artinya? Sebaliknya ketika 800 juta itu diinvestasikan untuk SATU ORANG MANUSIA, satu orang itu bisa membangun seribu jembatan dan seribu sekolah. Kami percaya pada kemampuan manusia dalam menghasilkan sesuatu maka dari itu kami tidak merasa rugi dalam hal pembiayaan karena satu orang itu dapat menghasilkan lebih dari apa yang telah
kami investasikan". Karena itu, saya percaya, dengan seijin Tuhan Jepang pasti akan bangkit lagi.
Dengan prinsip gambaru, Jepang pasti akan membangun istana kemakmuran mereka kembali dari sisa puing-puing kehancuran ini, karena mereka telah belajar untuk tidak menyerah pada keadaan dan tidak manja.
Kalau anda punya sahabat atau kenalan di Jepang, coba tanya apakah ada berita di media lokal yang memajang wajah menyerah atau tangisan dari orang Jepang? Tidak ada! Atau coba anda cari lagu-lagu ala Ebiet G Ade yang biasa diputar di saat bencana, tidak akan anda temukan. ATAU coba anda cari program amal bencana seperti Peduli Sesama atau Dompet Peduli di Jepang, tidak akan anda temui!
Benar kita harus bercermin pada Jepang.
Dalam bencana yang hebat inipun, bantuan Jepang untuk pembangunan MRT di Jakarta tidak dihentikan, malah kemaren saya mendapat email dari KEMENPORA bahwa program pertukaran yang saya ikuti tahun lalu akan dibuka lagi pendaftarannya. Sungguh saya salut pada Jepang.
Satu hal lagi yang saya belajar selama di Jepang adalah kedisiplinan mereka. Sungguh saya malu dengan kebiasaan jam karet yang begitu melekat dengan bangsa kita. Saya teringat ketika mengikuti "morning assembly" dan upacara bendera di atas kapal pesiar Fuji Maru-Tokyo. Kami diwajibkan sudah hadir di tempat upacara pada pukul 7.30 karena upacara harus dimulai tepat waktu. Saya ingat yang sering terjadi bukanlah keterlambatan melainkan kami menunggu kapan upacara dimulai. Waktu itu kami sudah hadir setengah jam sebelum upacara dimulai namun upacara tidak dimajukan namun tetap komit pada waktu yang ditetapkan. Bisa anda bayangkan betapa pegalnya kaki kami waktu itu. Namun disiplin seperti itu telah membawa Jepang ke titik puncak kejayaan mereka.
Watashi wa, tōsō no genri nitsuite Nippon kara manabu koto ga dekimasu. Demo, watashi wa tatakai tsuzukeruga okoru! Anata wa Nippon ni kansha shimasu.
Biarlah Jepang menjadi inspirasi bagi kita semua.
Gambate Nihon!!! Ayo bejuang Jepang!!!
-Jack Loloin-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
keren Jack!!!
orng Indonesia memang perlu belajar banyak dr Jepang!!
Tuhan pulihkan jepang... Amin
Post a Comment